KARAWANG | BERITAINDUSTRI.ID – Polemik kasus ketenagakerjaan yang menimpa Tatang Suhendi, karyawan PT Galuh Citarum (Galuh Mas Group), semakin menjadi sorotan publik. Pasalnya, kasus dugaan penggelapan gaji dan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak ini telah bergulir lebih dari 8 tahun tanpa kejelasan dan belum ada penyelesaian.
Kini, proses hukum mulai memasuki tahapan pemanggilan saksi oleh penyidik Reskrimum Polres Karawang, termasuk menghadirkan Maman, mantan Kepala HRD perusahaan tersebut. Namun di tengah jalannya penyidikan, sorotan justru tertuju pada lemahnya peran UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Karawang yang dianggap hanya jadi “penonton” dalam persoalan ini.
Kuasa hukum Tatang, H. Elyasa Budiyanto, SH, dengan tegas menyebut UPTD tidak menjalankan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 serta Perkapolri Nomor 6 Tahun 2010.
“Seharusnya UPTD Ketenagakerjaan turun tangan dan mengambil langkah hukum melalui PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Kewenangan itu jelas ada, tapi yang terjadi mereka justru lamban, bahkan terkesan mandul menghadapi perusahaan besar,” ujar Elyasa dengan nada kecewa.
Elyasa menegaskan, jika fungsi PPNS benar-benar dijalankan secara serius, kasus seperti yang dialami kliennya tidak mungkin berlarut hingga belasan tahun. Ia menuding UPTD hanya menjalankan peran formalitas tanpa keberanian untuk membela buruh.
“Publik bisa melihat sendiri, UPTD tumpul ketika berhadapan dengan arogansi perusahaan besar. Jangan sampai mereka dinilai sebagai lembaga yang hanya ‘pajangan’ tanpa keberanian menjalankan amanah undang-undang,” tambahnya.
Kasus Tatang sendiri dianggap sebagai gambaran nyata lemahnya perlindungan hukum terhadap buruh di Karawang, daerah yang dikenal sebagai salah satu basis industri terbesar di Jawa Barat. Dugaan penggelapan gaji dan PHK sepihak yang dibiarkan berlarut-larut mencoreng wajah penegakan hukum ketenagakerjaan.
Tak hanya itu, publik juga mulai mempertanyakan keseriusan aparat pengawas ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas negara. Jika fungsi PPNS di bawah UPTD tetap dibiarkan tumpul, maka posisi buruh akan selalu terpojok dan rentan menjadi korban kesewenang-wenangan perusahaan.
“Ini harus jadi momentum evaluasi besar-besaran terhadap kinerja UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Karawang. Jangan biarkan hak buruh terabaikan hanya karena aparat pengawas tidak punya nyali,” tegas Elyasa menutup pernyataannya.
Kasus Tatang Suhendi kini bukan sekadar perkara pribadi antara karyawan dan perusahaan, tetapi juga menjadi cermin buruknya kinerja pengawas ketenagakerjaan di Karawang. Publik menanti apakah aparat berwenang benar-benar berani menegakkan aturan, atau kembali tunduk pada tekanan korporasi besar.
(Jun@)

