JAKARTA, BERITAINDUSTRI.ID – Kunjungan kenegaraan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa ke Indonesia dinilai menjadi momentum strategis yang menandai babak baru hubungan antara dua kawasan besar dunia: Asia dan Afrika. Dalam konteks geopolitik global yang tengah berubah, kerja sama antara Indonesia dan Afrika kini dipandang sebagai poros baru kekuatan dunia yang lahir dari semangat kemandirian dan kesetaraan.
Muhammad Sirod, Fungsionaris Kadin Indonesia sekaligus Ketua Umum Himpunan Pengusaha Indonesia (HIPI) Jakarta Timur, menyebut bahwa hubungan bilateral ini tidak sekadar bersifat diplomatik, tetapi merupakan “pertemuan dua benua yang pernah dijajah, kini bangkit dengan identitas dan daya juang sendiri.”
“Hegemoni Barat mulai memudar. Saatnya Asia dan Afrika memimpin babak baru geopolitik dunia. Ketika Presiden Prabowo tampil sejajar dengan pemimpin besar seperti Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Kim Jong-un, dunia melihat bahwa Indonesia bukan lagi pelengkap, tetapi penentu arah global,” ujar Sirod di Jakarta, Kamis (23/10).
Menurutnya, posisi Afrika Selatan yang saat ini memegang Presidensi G20 memperkuat arti strategis kunjungan tersebut. Kehadiran Presiden Ramaphosa di Jakarta dianggap sebagai pengakuan atas peran penting Indonesia di kawasan Indo-Pasifik dan poros ekonomi Timur yang semakin menguat.
Sirod menilai, semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 kini hidup kembali, namun dengan konteks yang berbeda.
“Dulu kita bersatu untuk kemerdekaan politik, sekarang kita bersatu untuk kemandirian ekonomi,” ungkapnya.
Dalam bidang perdagangan, peluang kerja sama kedua kawasan disebut terbuka luas. Afrika, dengan populasi besar dan pasar yang terus tumbuh, merupakan destinasi potensial bagi produk konsumsi, pangan olahan, hingga ritel modern asal Indonesia.
Sirod mencontohkan kesuksesan Indomie sebagai produk yang menembus pasar Afrika dan menjadi simbol diplomasi ekonomi berbasis budaya.
Selain produk, Indonesia juga memiliki peluang mengekspor kompetensi manajerial dan sistem distribusi ritel seperti model bisnis Alfamart, yang terbukti efisien di pasar domestik.
“Kita tidak hanya mengekspor barang, tapi juga kecakapan. Itu bentuk ekspor baru yang lebih berkelanjutan,” katanya.
Namun, Sirod menegaskan bahwa kerja sama ini harus dijalankan dengan prinsip keseimbangan. Indonesia perlu memastikan agar pembukaan pasar terhadap komoditas Afrika tidak merugikan produksi lokal, serta memastikan regulasi dan perjanjian dagang yang adil.
Ia juga menyoroti gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang dinilai mampu mengintegrasikan kebijakan luar negeri, industri, dan ketahanan ekonomi nasional.
“Presiden Prabowo bukan hanya kepala negara, tapi juga berperan sebagai menteri luar negeri, menteri pangan, dan menteri pertahanan dalam satu visi besar: kemandirian nasional,” tegas Sirod.
Langkah pemerintah dalam menertibkan tambang, memperkuat industri, dan menjaga kedaulatan ekonomi dinilai sebagai pondasi penting agar Indonesia menjadi mitra yang dihormati di kancah global, bukan sekadar objek eksploitasi.
Lebih lanjut, Sirod mendorong agar diplomasi ekonomi Indonesia–Afrika tidak berhenti di tingkat kepala negara. Dunia usaha, lembaga keuangan, dan kementerian teknis perlu bersinergi membuka jalur investasi dan pembiayaan lintas kawasan.
“Bank-bank nasional harus berani ekspansi ke Afrika agar transaksi dan perdagangan bisa berjalan efisien,” katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya integritas dalam pelaksanaan kerja sama ini.
“Dunia menilai Indonesia dari konsistensi tindakan. Kita harus beres di dalam negeri dulu, baru akan disegani di luar negeri,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Sirod menyampaikan optimisme bahwa sinergi Indonesia dan Afrika akan membuka babak baru dalam peta ekonomi dunia.
“Kita sama-sama kaya sumber daya, punya generasi muda yang energik, dan sedang menata sistem ekonomi. Jika dua kawasan ini bersatu, dunia akan menyaksikan kebangkitan baru dari Selatan global,” pungkasnya.
(Emed Tarmedi)

