Mon - Sat 8.00 - 17.00

Pengangguran: Quo Vadis Dunia Ketenagakerjaan RI?

BEKASI | BERITAINDUSTRI.ID-
“Pemimpin berpikir dan berbicara tentang solusi. Pengikut berpikir dan berbicara tentang masalah.”_ – Brian Tracy

Masalah ketenagakerjaan di Indonesia, sampai saat ini masih harus menjadi perhatian utama kita semua, khususnya Pemerintah. Permasalahan tersebut mulai dari formulasi Upah Minimum yang belum memiliki standar pasti dan disepakati oleh pihak Pengusaha dan Pekerja, UU Ciptakerja yang banyak merugikan kepentingan Pekerja, sampai tingginya tingkat Pengangguran.

Sejatinya, penyelesaian sistematis setiap permasalahan ketenagakerjaan, harus melibatkan semua “stakeholder” ketenagakerjaan yang ada. Melibatkan Perwakilan Pengusaha dan Pekerja tak akan menuntaskan permasalahan secara komprehensif.

Perluasan keterlibatan kalangan akademisi dan Profesional/Praktisi HR sebagai pihak paling memahami kondisi internal perusahaan secara objektif, perlu menjadi perhatian dan pertimbangan kedepan. Tarik-menarik kepentingan yang “uncompromize” dari Bipartit (Pengusaha – Pekerja), akan selalu membuat masalah2 klasik tersebut tak pernah tuntas.

Tulisan ini lebih memfokuskan pada masalah pengangguran yang makin tinggi akhir-akhir ini. Berdasarkan hasil survey terkini, angka pengangguran di Indonesia naik menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025, meskipun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun tipis menjadi 4,76% (sumber BPS).

Lonjakan jumlah penganggur naik 1,11% dari bulan sebelumnya yang mencapai 7,20 juta orang. Lonjakan ini dipicu oleh laju pertumbuhan angkatan kerja yang lebih cepat, dari kemampuan pasar menyerap tenaga kerja.

BPS mencatat selama setahun terakhir, sebanyak 3,59 juta orang masuk ke bursa kerja. Namun, banyak di antaranya yang belum mendapatkan pekerjaan, atau bahkan hanya masuk sektor informal, yang tidak terlindungi secara hukum. Hal ini tercermin dari naiknya proporsi pekerja informal dari 59,17% menjadi 59,40% dalam periode yang sama.

Berita Lainnya  PT Unicorn Ingkar Janji, Proses di UPTD Pengawasan Karawang Mandek

Sebelumnya, International Monetary Fund (IMF) telah menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Dalam laporan World Economic Outlook April 2024, pengangguran di Indonesia berada di level 5,2%. Angka ini berada di atas Filipina 5,1%, Malaysia 3,5%, Vietnam 2,1%, Singapura 1,9%, dan Thailand 1,1%.

IMF menyebut kondisi ini cukup ironis, karena Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara negara-negara ASEAN.
Laporan dari World Bank Data juga menunjukkan hal serupa. Pengangguran di Indonesia berada di level 3,5% pada 2022. Sementara di Brunei 5,2% dan Malaysia 3,9%.

Lantas, apa solusi untuk menurunkan tingkat pengangguran yang makin meningkat, sementara peluang kerja makin kecil disaat perekonomian nasional yang sedang tidak baik-baik saja?

BELAJAR DARI VIETNAM

Peningkatan lapangan pekerjaan tak bisa dilepaskan dari peningkatan investasi. Investasi dalam hal ini adalah tindakan menempatkan dana atau aset dengan tujuan mendapatkan keuntungan atau peningkatan nilai di masa depan.

Secara umum, investasi melibatkan penanaman modal dalam bentuk uang atau kekayaan lain untuk mendapatkan imbal balik atau return tertentu. Artinya, setiap investasi sudah pasti secara otomatis akan membutuhkan tenaga kerja alias Sumber Daya Manusia (SDM). Semakin banyak investasi diciptakan, semakin banyak menyerap tenaga kerja. Hal inilah yang selalu dilaksanakan secara fokus oleh Vietnam.

Berita Lainnya  Tuntutan Serikat Pekerja FSP TSK SPSI Dikabulkan, PT Unicorn Handbag Factory Sepakati Sanksi untuk Pimpinan yang Intimidatif

Untuk menurunkan pengangguran di Vietnam, peningkatan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment – FDI) menjadi kunci penting. Strategi yang efektif meliputi: menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan stabilitas politik, insentif pajak yang menarik, dan deregulasi yang mendukung; fokus pada sektor-sektor berpotensi tinggi seperti manufaktur dan teknologi; serta pengembangan infrastruktur yang memadai.

Apakah Indonesia juga sudah melakukan kebijakan2 seperti yang sudah dilakukan oleh Vietnam? Sesungguhnya RI sudah lebih dulu menerapkan kebijakan2 liberalisasi, kemudahan perijinan bagi investasi asing khususnya serta fasilitas perpajakan yang menarik para investor. Namun, sampai saat ini kebijakan2 tsb belum membuahkan hasil yang signifikan, khususnya dalam membuka lapangan kerja bagi anak2 bangsa. Lantas, apa yang salah? What’s wrong with us?

Jika kita membaca berita2, hasil2 survey dan informasi2 yang beredar terkait dengan stagnasi investasi asing di Indonesia yang berdampak terhadap tingginya tingkat Pengangguran, tentu sudah banyak kita dapatkan melalui Internet, medsos, jurnal2 penelitian dan berita2 di media massa.

Namun, ada satu hal penting yang kita semua lupa adalah tentang INKOSISTENSI antara apa yang sudah kita buat, rencanakan dan putuskan, dengan implementasi di lapangan. Sering sekali terjadi, kebijakan2 bagus dan ideal yang dibuat oleh Pemerintah, tidak sepenuhnya bisa diterapkan secara “inline” di lapangan.

Promosi besar2an terkait perijinan yang mudah, faktanya terjadi kerumitan dan kesemrawutan di lapangan, pemberian fasilitas perpajakan yang menarik, menemui banyak kendala dalam proses, penciptaan iklim yang kondusif sebagaimana dijanjikan, faktanya sering terjadi demo dan budaya premanisme di lapangan. Termasuk revisi sejumlah aturan2 ketenagakerjaan yang banyak diintervensi oleh kepentingan2 politik.

Berita Lainnya  Tuntutan Serikat Pekerja FSP TSK SPSI Dikabulkan, PT Unicorn Handbag Factory Sepakati Sanksi untuk Pimpinan yang Intimidatif

Inkonsistensi ini membuat kaum investor tak memiliki “trust” dan membuat mereka bingung. Belum lagi stabilitas politik yang masih terlihat stabil di permukaan, namun penuh dengan “politicking” di Internal Pemerintahan. Kaum Investor itu tak peduli dengan masalah2 internal kita. Bagi mereka, bagaimana kepentingan dan masa depan bisnis mereka bisa berjalan dengan baik, dilindungi, memberikan keuntungan yang proporsional dan bisa berkelanjutan untuk jangka panjang.

Terakhir, dibutuhkan Peta jalan alias “roadmap” ketenagakerjaan yang jelas, visioner, lintas sektoral & “meaningful participation” dari segenap “stakeholder”, agar memberikan kemanfaatan dan ketenangan baik Pengusaha dan Pekerja untuk jangka panjang.

Disamping itu, sudah sangat mendesak untuk membentuk wadah atau Lembaga resmi yang bisa menjadi Forum Komunikasi sekaligus “think tank” yang menampung semua “stakeholder” dunia bisnis dan ketenagakerjaan, agar masalah2 klasik, khususnya pengangguran bisa diatasi secara komprehensif!

Lembaga ala Tripartit (Perwakilan Pemerintah, Pengusaha & Pekerja), sudah tak cukup dan tak relevan untuk mewadahi aspirasi semua pihak2 yang berkepentingan untuk perbaikan dan kebaikan dunia bisnis dan ketenagakerjaan RI sat ini yang penuh kompleksitas.

Bekasi, 29 Mei 2025

Dr. Yosminaldi, SH.MM (Ketua Umum ASPHRI, Dosen MSDM-HI & Pengamat Ketenagakerjaan)

Bagikan Artikel

Artikel Lainnya

PEMERINTAHAN

INDEKS

DAERAH

- Advertisement -spot_img

HUKUM & KRIMINAL

TRENDING

KETENAGAKERJAAN

NASIONAL

POLITIK

SEPUTAR INDUSTRI

BERITA LAINNYA