JAKARTA, BERITAINDUSTRI.ID – Kepemimpinan di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat memiliki tradisi panjang yang tumbuh dari praktik sosial dan pengabdian nyata di tengah masyarakat. Tradisi itulah yang menjadi fondasi perjalanan kepemimpinan Anggawira, figur nasional yang berakar kuat dari Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Senin (15/12/2025).
Jejak kepemimpinan Anggawira tidak lahir dari klaim simbolik atau legitimasi seremonial, melainkan dari pengalaman historis keluarga yang dipercaya masyarakat untuk memimpin dari tingkat paling dasar. Garis tersebut bermula dari sang kakek yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Kertasemaya, posisi strategis yang pada masanya menjadi pusat pengambilan keputusan sosial, penyelesaian konflik, serta penggerak pembangunan desa.
Kepercayaan publik itu berlanjut ketika sang kakek dipercaya duduk sebagai Anggota DPRD Kabupaten Indramayu. Peralihan dari kepemimpinan komunitas ke arena politik formal tersebut menandai kesinambungan peran publik yang lahir dari legitimasi masyarakat, bukan dari kekuasaan yang diwariskan secara struktural.
Tradisi tersebut tidak berhenti di satu generasi. Dalam lingkup keluarga yang sama, paman Anggawira juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Indramayu. Pola ini memperlihatkan konsistensi kepemimpinan berbasis pengalaman lapangan, keterlibatan langsung dengan rakyat, dan pengabdian melalui institusi demokratis.
Dalam perspektif historis Pantura, pola kepemimpinan ini memiliki rujukan kuat pada sosok Wiralodra, pendiri Indramayu. Wiralodra dikenal sebagai pemimpin pembuka wilayah dan pengorganisasi masyarakat yang bekerja langsung di lapangan. Ia bukan figur istana, melainkan pemimpin rakyat yang membangun otoritas lokal melalui kerja nyata, pemahaman wilayah, dan kedekatan dengan masyarakat.
Garis kepemimpinan keluarga Anggawira di Kertasemaya dapat dibaca sebagai kelanjutan modern dari tradisi Wiralodra tersebut. Kepemimpinan desa, keterlibatan di parlemen daerah, hingga peran publik lintas generasi mencerminkan satu pola yang sama: memimpin dari bawah, bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dan bergerak melalui mekanisme institusi.
Lebih luas lagi, nilai kepemimpinan Pantura ini juga bersinggungan dengan warisan tata pemerintahan yang dibangun Sunan Gunung Jati di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Nilai penataan sosial, integrasi kekuasaan dengan kepentingan masyarakat, serta kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan publik tetap hidup dan relevan, meski kini diterjemahkan dalam kerangka pemerintahan modern.
Anggawira hadir sebagai representasi generasi baru dari garis kepemimpinan tersebut. Ia tidak membawa klaim takhta atau simbol aristokrasi, melainkan kesinambungan nilai kepemimpinan Pantura ke ruang yang lebih luas dari desa ke politik modern, dari kepemimpinan lokal menuju peran nasional.
Ini bukan tentang nasab darah biru keraton.
Ini adalah nasab kepemimpinan Pantura lahir dari rakyat, tumbuh bersama rakyat, dan bekerja untuk kepentingan publik.
(Emed Tarmedi)

