KARAWANG | BERITAINDUSTRI.ID- Di dunia jurnalisme yang makin bising oleh suara-suara artifisial, Junaedi Hambali hadir dengan pendekatan yang berbeda: turun langsung ke lapangan, menatap mata para korban ketidakadilan, dan menyuarakan jeritan yang nyaris tak terdengar. Baginya, jurnalisme bukan sekadar profesi—ini adalah perlawanan terhadap ketimpangan dan pembungkaman.
Fokus utama liputannya adalah isu ketenagakerjaan, terutama kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Ia tahu bahwa satu keputusan manajemen bisa mengguncang hidup puluhan keluarga. Maka, ketika terjadi PHK tak adil, ia bukan hanya mencatat, tapi menelisik: siapa yang bermain? Siapa yang diam? Siapa yang mestinya bersuara?
Ia sering dihadapkan pada tembok birokrasi. Instansi yang tidak kooperatif saat dikonfirmasi bukanlah hambatan, tapi justru pemicu semangat. Dalam setiap penolakan, ia menemukan petunjuk. Dalam setiap penghindaran, ia melihat celah kebenaran yang harus dibuka.
Lebih dari itu, Junaedi tak menutup mata terhadap peran Ketua Serikat Pekerja—sosok yang seharusnya jadi perisai buruh, namun kadang justru menjelma sebagai komoditas, “nilai jual” dalam negosiasi dengan perusahaan. Dalam narasinya, ia mengangkat ironi ini, bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menggugah kesadaran: serikat bukan alat tawar-menawar kepentingan pribadi, melainkan benteng terakhir pekerja.
Keberaniannya bukan tanpa risiko. Tapi ia percaya, jurnalisme yang berani adalah jurnalisme yang dibutuhkan masyarakat. Dan karena itulah, ia terus menulis. Dengan akurat. Dengan hati. Dengan keberpihakan pada yang tertindas.
(Jun@)